
Anggota Komisi II DPRD Maluku, Alhidayat Wajo. Foto : Iat
AMBON, MG.com – DPRD Provinsi Maluku mendorong percepatan transformasi ekonomi daerah melalui hilirisasi pertanian dan perkebunan di Maluku.
Anggota Komisi II DPRD Provinsi Maluku, Al Hidayat Wajo mengatakan, saat ini Maluku masih tertinggal dalam pengembangan sektor pengolahan, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi jangka panjang.
Menurutnya, hilirisasi penting, guna meningkatkan nilai tambah produk, dan memperluas pasar lokal, serta mendorong kesejahteraan petani.
Ia juga menyoroti komoditas unggulan Maluku, seperti kelapa yang hingga kini masih dijual dalam bentuk mentah ke luar daerah, lantaran tidak memiliki pabrik pengolahan kelapa.
Karena itu ia meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku membuka ruang seluas-luasnya untuk percepatan hilirisasi pertanian dan perkebunan di Maluku.
“Jika ada satu pabrik di Maluku, maka kita tidak perlu lagi mendatangkan produk turunan dari luar. Hasil produksi kita, bisa diolah dan dipasarkan langsung di Maluku,” tegas Wajo kepada wartawan, di Ambon, Kamis (16/5/2025).
Dia kemudian mencontohkan Provinsi Maluku Utara (Malut), yang telah berhasil mengembangkan industri pengolahan santan. Bagi dia, langkah serupa seharusnya dapat segera diimplementasikan di Maluku, dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pada produk luar daerah.
Namun demikian Wajo menyebutkan, jika salah satu hambatan utama dalam proses hilirisasi adalah, tidak tersedianya data akurat mengenai ketersediaan bahan baku pertanian.
Bahkan, dalam rapat bersama dinas teknis, DPRD Provinsi Maluku tidak mendapatkan informasi yang pasti, terkait dengan kapasitas produksi maupun kebutuhan pasar lokal.
“Kita tidak tahu berapa stok bahan baku, yang kita miliki. Data dari dinas masih bersifat asumsi, bukan angka riil. Ini sangat menyulitkan, dalam menyusun kebijakan pembangunan sektor pertanian yang tepat,” tegas Wajo.
Namun demikian Wajo menyebutkan, jika salah satu hambatan utama dalam proses hilirisasi adalah, tidak tersedianya data akurat mengenai ketersediaan bahan baku pertanian.
Bahkan, dalam rapat bersama dinas teknis, DPRD Provinsi Maluku tidak mendapatkan informasi yang pasti, terkait dengan kapasitas produksi maupun kebutuhan pasar lokal.
“Kita tidak tahu berapa stok bahan baku, yang kita miliki. Data dari dinas masih bersifat asumsi, bukan angka riil. Ini sangat menyulitkan, dalam menyusun kebijakan pembangunan sektor pertanian yang tepat,” tegas Wajo.
Tak hanya sektor pertanian, Wajo juga menyoroti lemahnya data kebutuhan energi rumah tangga, seperti minyak tanah. Ketidakakuratan data, berdampak pada buruknya perencanaan distribusi energi hingga potensi kelangkaan.
Saat ini, menurut dia, sejumlah hasil pertanian utama Maluku, seperti kelapa, cokelat, dan kelapa sawit, masih terbatas pemasarannya pada pasar lokal dan domestik. Tanpa langkah strategis dari pemerintah daerah, maka dalam membangun industri hilir, potensi besar sektor ini dipastikan akan terus terhambat.
“Menurut saya, sudah saatnya pemerintah serius, dalam membangun industri pengolahan berbasis komoditas lokal, agar daya saing pertanian Maluku dapat meningkat,” pinta Wajo. (*)









