Ambon,MG.com-Ruang publik Maluku belakangan ini, dilanda dengan hujan narasi konfrontatif dan provokatif antara pendukung Gubernur Murad Ismail dan Ketua DPRD Maluku Benhur Watubun.
Hal ini, bermula dari ketua DPRD Provinsi melontarkan pernyataan bahwa Gubernur Maluku malas hadiri sidang Paripurna, sebagai jawaban atas pertanyaan awak media.
Lantas apakah pernyataan Ketua DPRD, yang demikian tidak diperbolehkan sebagai bagian dari melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan ? Dan apakah sikap Gubernur malas hadiri sidang Paripurna merupakan sebuah pelanggaran.
Dua pertanyaan kritis diatas perlu dijawab secara objektif, rasional dan ilmiah dengan menggunakan referensi yang sahih, sehingga publik tidak menjadi gaduh melalui penggiringan opini negatif oleh para politisi hitam.
Perlu dipahami pernyataan ketua DPRD mengkritik Gubernur Maluku malas hadiri sidang Paripurna, baik secara hukum maupun etika bukan sebuah larangan, sehingga hal itu diperbolehkan. Sementara sikap Gubernur Maluku yang malas hadiri sidang Paripurna, bukan pelanggaran hukum tetapi secara etika adalah sebuah pelanggaran, apalagi rapat paripurna terkait dengan pemberhentian.
Sebab, DPRD merupakan organ perwakilan rakyat daerah, yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Sebagai unsur penyelenggara, maka kedudukan DPRD dan Kepala Daerah sama-sama sebagai penyelenggara pemerintahan daerah yang sejajar.
Berdasarkan ketentuan Norma Pasal 94 dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah, mengatur fungsi DPRD meliputi pembentukan peraturan daerah, anggaran, dan pengawasan.
Kemudian tugas dan wewenang DPRD diatur dalam norma Pasal 101 dan Pasal 154. Salah satu wewenang ialah meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Disamping memiliki fungsi, tugas dan wewenang, dalam norma Pasal 106 dan Pasal 159 terdapat hak DRPD, yang berupa hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat.
Pernyataan Ketua DPRD mengkritik sikap Gubernur Maluku, yang malas hadiri sidang Paripurna merupakan hak menyatakan pendapat, dan harus dipahami sebagai bagian dari melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangan.
Sebagai mitra kerja dalam urusan pemerintahan yang sejajar, kehadiran Gubernur sangat penting di setiap rapat paripurna. Meskipun secara normatif tidak diwajibkan, karena bisa memberikan mandat kepada Wakil Gubernur atau sekda untuk mewakilinya. Tetapi, secara etika Pemerintahan ketidakhadiran Gubernur pada setiap sidang paripurna mengindikasikan tidak menghargai dan mendegradasi forum DPRD.
Seandainya selama 5 tahun sidang paripurna maksimal 3 kali pernah hadir, lalu kemudian ketua DPRD Provinsi melontarkan kritikan tersebut. Maka, pernyataan itu bisa dinilai tendensius dan tidak bisa dibenarkan, karena Gubernur dianggap sudah pernah hadir untuk menghargai undangan DPRD dalam hubungan mitra kerja.
Namun, faktanya selama ini Gubernur Maluku selaku kepala daerah hampir tidak pernah hadir dalam sidang paripurna, maka sebagai bentuk autokritik Ketua DPRD berhak menyatakan demikian kepada publik saat ditanya oleh media. Oleh karena itu, memaknai pernyataan yang dilontarkan oleh ketua DPRD Provinsi sebagai hak menyatakan pendapat bukan penghinaan atau pelecehan.
Oleh sebab itu, tidak ada pelanggaran maupun kesalahan dalam pernyataan tersebut, karena hal yang disampaikan merupakan sebuah kenyataan atau fakta empiris di lapangan. Yang menjadi persoalan dari pernyataan ketua DPRD itu, apabila kenyataannya Gubernur sering hadir tapi dinilai malas atau dituduh tidak mau mengizinkan kehadiran Wakil Gubernur dan Sekda sebagai perwakilan, sementara faktanya mereka hadir.
Mengapa kehadiran Gubernur di sidang Paripurna menjadi penting, karena DPRD ingin mempertanyakan problematika dalam urusan pemerintahan. Misalnya, bertanya kepada Gubernur perihal apa alasannya setiap kali rapat Paripurna para OPD Provinsi Maluku banyak yang bandel sehingga tidak hadir, padahal pembahasan APBDP sangat penting sekali didengar langsung oleh para OPD terkait, demi kemaslahatan rakyat Maluku.
Pernyataan ketua DPRD bisa dipahami sebagai bentuk akumulasi kekesalan lembaga terhadap sikap Gubernur Maluku selama ini. Misalnya, Gubernur pernah mengomentari ketua DPRD Maluku tidak layak, dan memilih absen pada sidang paripurna karena menghadiri acara pernikahan di Jakarta waktu itu. Ucapan dan sikap yang demikian, memicu terjadi keretakan dengan mitra kerja dalam urusan Pemerintahan. Buktinya banyak OPD yang bandel tidak mau hadiri sidang Paripurna, karena mencontohkan sikap Gubernur.
Lazimnya seorang Gubernur meninggalkan urusan pemerintahan dan tidak menghadiri sidang paripurna DPRD, karena sedang menjalankan tugas yang lebih penting diluar tanggung jawab yang ada. Misalnya menghadiri undangan resmi dari Presiden, Wakil Presiden atau para Menteri untuk membahas agenda strategis demi kepentingan Nasional dan Maluku, bukan menghadiri acara remeh temeh pernikahan atau agenda tidak terlalu penting.
Sikap Gubernur Maluku saat itu sangat tidak mendasar, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Apalagi disinyalir agenda yang di hadiri selama meninggalkan sidang Paripurna, tidak terlalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum, maupun memberikan kemanfaatan untuk menopang pertumbuhan pembangunan daerah.
Meskipun ketidakhadiran Gubernur Maluku di sidang paripurna pemberhentian secara sengaja bukan pelanggaran hukum, tetapi secara etika adalah pelanggaran. Etika Gubernur sebagai pejabat publik sudah dirumuskan dalam Ketetapan TAP MPR RI Nomor VI/MPR tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa. Etika pejabat publik adalah etika yang selaras dengan visi dan misi Indonesia masa depan. Mulai dari bagaimana penyelenggara Negara dan pejabat publik harus bersikap jujur, amanah, adil, bijaksana, keteladanan, disiplin, menjaga kehormatan dan martabat diri serta yang paling penting tidak munafik.
Di dalam Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, ditegaskan bahwa etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk memiliki budi pekerti, siap melayani, berjiwa besar. Selain itu, rendah hati, tangguh, santun, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan pelanggaran.
Dalam TAP MPR RI tahun 2001 telah mengandung nilai-nilai etika, yang harus di implementasikan oleh setiap pejabat publik. Etika berbangsa jika diterjemahkan dalam konteks lokalitas dan kontemporer, maka Gubernur sebagai penyelenggaraan pemerintahan di daerah harus transparan, dan bertanggung jawab atas ketidakhadiran dirinya dan OPD pada saat sidang Paripurna DPRD selama ini. Selain itu, merawat hubungan harmonis dengan organ DPRD sebagai mitra kerja Pemerintahan, tidak lari dari tanggung jawab saat sidang paripurna dan harus punya budaya malu.
Gubernur selaku kepala daerah harus menaati norma hukum maupun norma etika sesuai amanat ketentuan Norma Pasal 67 huruf b dan d. Sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 9 tahun 2015 tentang pemerintahan Daerah. Menurut ketentuan huruf b menyebutkan kepala daerah “mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Sedangkan menurut ketentuan Norma Pasal 67 huruf d, menyebutkan bahwa “menjaga etika dan norma dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah”. Itu artinya, Norma Pasal 67 huruf d menegaskan Gubernur tidak hanya patuhi norma hukum tapi juga norma etika. Oleh karena itu, ketidakhadiran Gubernur pada setiap sidang Paripurna, mengkonfirmasikan Gubernur tidak menaati atau melanggar norma etika.
Indonesia bukanlah hanya sekedar Negara menjunjung tinggi norma hukum (Legal Norm) sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi norma Pasal 1 Ayat (3). Tetapi juga menjunjung tinggi norma etika (Legal Ethics), yang dirancang sedemikian rupa, agar dipahami oleh setiap warga Negara Indonesia maupun pejabat publik sebagai cerminan dari “Ethics In Public”.
Itu sebabnya, hampir semua Undang-undang yang mengatur organ-organ Negara, baik di rumpun cabang kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif atau organ Negara campuran telah mengadopsi mengenai kode etik dan komite majelis-majelis kehormatan penegak kode etik. Dengan demikian, mestinya Gubernur Maluku untuk menjamin supaya mewujudkan pemerintahan Maluku, yang bermartabat dan berkemajuan serta hubungan mitra kerja dengan DPRD secara harmonis tidak hanya menegakkan “Rule of Law” tapi juga “Rule of Ethics”
Sementara dalam konteks global pejabat pemerintahan di berbagai Negara saat ini, bukan hanya mengikuti Prosedur aturan main (Rule of The Game) saja, melainkan harus menggunakan etika. Begitu pentingnya etika dalam kehidupan sebuah Negara, sekarang ini hampir semua Negara di dunia berlomba-lomba untuk memperkenalkan sistem etika, yaitu “Etika Pejabat Publik”. Negara-negara seperti Inggris, Amerika, Australia, sudah punya Undang-undang tentang “Ethics of Public Officer”.
Etika lebih luas dari pada hukum yang sempit. Karena itu, setiap pelanggaran hukum dapat dikatakan juga merupakan pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Bahkan dapat dipahami etika sebagai basis sosial bagi kerjanya sistem hukum. Sehingga untuk membangun Pemerintahan yang modern dan bersih, Gubernur dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab urusan pemerintahan, tidak cukup dengan pendekatan “Sense of Regulation”, tetapi juga harus “Sense of Ethics”.
Ketidakhadiran Gubernur di sidang Paripurna hampir selama 5 tahun, dan berbagai pelanggaran etika yang dilakukan selama ini, tidak boleh dilihat dari optik hukum semata, tapi juga harus diteropong dari perspektif etika. Yaitu, tidak hanya dengan pendekatan “Legal Norm” tapi juga “Legal Ethics”
Manifestasi dari tegaknya “Rule of Ethics” Gubernur mestinya menjadi Role Model, memiliki budi pekerti yang tinggi, berintegritas, mempunyai kesadaran etis, serta menghormati lembaga DPRD sebagai mitra kerja yang sejajar. Kesadaran etis seorang pejabat publik, sangat penting dalam menjalankan tugas dan urusan pemerintahan. Tidak boleh Gubernur dapat mengorbankan etiket atau sopan santun demi melanggengkan sikap arogansi dan gengsi dalam kepemimpinan.
Apabila ada dalil argumentasi hukum yang membenarkan pelanggaran etika oleh Gubernur Maluku sebagai sesuatu yang lazim, dan tidak perlu dipersoalkan karena bukan pelanggaran hukum. Maka pandangan semacam itu, sangat keliru dalam konteks urusan pemerintahan. Berhukum itu jangan hanya orientasi berfikir dogmatis-positivistik untuk memandang hukum secara “Das sollen” semata, tapi juga harus “Das sein.” Termasuk memahami Norma hukum harus secara tekstual maupun kontekstual.
Terlepas dari perseteruan antara Gubernur dan ketua DPRD. Keduanya diharapkan sama-sama merawat integritas, moralitas dan kapabilitas serta etika sebagai pejabat publik menjelang ritual politik pemilu 2024 nanti. Hal ini, sesuai dengan ketentuan Norma Pasal 65 Ayat (1) huruf b Undang-undang pemerintahan daerah Menyebutkan bahwa “memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat”. Namun, jika Gubernur dan ketua DPRD tidak memiliki kesadaran etis, tentu hasilnya juga tidak akan membuahkan apa yang dituntut oleh masyarakat dalam menjalankan urusan pemerintahan.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia. ( ** )