Betaubun vs Bawaslu dan Gamkudu
AMBON, MG.com – Peristiwa hukum yg dialami anggota DPR RI Edyson Betaubun, yang saat ini ditangani Bawaslu Maluku serta Gakumdu dan berujung pada dugaan tindak pidana Pemilu, hendaknya dilakukan secara hati-hati dan kecermatan hukum yang tinggi.
“Persoalan ini membutuhkan kajian dan telaah yuridis secara mendalam dan komprehensif, dan harus diukur tindakan pada peristiwa materil tersebut dalam kedudukan serta kualifikasinya sebagai Pejabat Negara (Anggota DPR RI) aktif, yang sedang atau akan melaksanakan fungsi dan tugas konstitusionalnya sebagai wakil rakyat, atau dalam kedudukan hukumnya sebagai calon anggota DPR RI Dapil Maluku,” jelas kuasa hukum Betaubun, Fahri Bachmid dalam rilisnya yang diterima media ini, Senin, (25/02/2019).
Kedua, kapasitas ini mempunyai implikasi yuridis berbeda secara absolut, dan memiliki penalaran yuridis yang teliti, dan jangan disederhanakan dengan menekankan secara prematur bahwa ini tendensi perbuatanya adalah pidana Pemilu.
Sedangkan pada saat yang sama penyelidik Gakumdu menafikan peran serta konteks pertemuan Edyson dengan konstituen dalam kedudukan sebagai anggota DPR RI, nah ini yang harus otentik didudukan secara objektif dan berimbang, agar tidak terjadi korban salah penerapan hukum.
“Ini tidak boleh terjadi, secara faktual, Edyson Betaubun dalam melakukan pertemuan dengan beberapa pihak pada tanggal 4 Januari 2019 di Hotel Mutiara Ambon pada saat itu adalah pertemuan dengan konstituen, serta serap aspirasi rakyat, dan itu sejalan dengan agenda reses sebagai mana diatur dalam UU RI Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas UU RI No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, Junto Peraturan DPR RI No 1 tahun 2014 Tentang Tata Tertib
Khususnya ketentuan Pasal 1 yang menyebutkan bahwa, masa reses adalah masa DPR melakukan kegiatan diluar masa sidang, terutama diluar Gedung DPR untuk melakukan kunjungan kerja,” jelasnya.
Kemudian ketentuan Pasal 7 disebutkan bahwa DPR bertugas, antara lain, menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan
melaksanakan tugas lain yg duiatur dalam Undang Undang.
Selanjutnya ketentuan pasal 210 menyebutkan bahwa :
(1) fungsi DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dijalankan dalam kerangka representasi rakyat
(2) dalam melaksanakan representasi rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan antara lain , melalui kunjungan kerja, pembukaan ruang partisipasi publik, transparansi pelaksanaan fungsi, dan pertanggung jawaban kerja DPR kepada rakyat.
(3) hasil kunjungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dijadikan bahan dan disampaikan dalam rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, dan rapat paripurna DPR.
(4) dalam pembukaan ruang partisipasi public sebagaimana dimaksud pada ayat (2), anggota dapat membuat rumah aspirasi
Dan ketentuan pasal 211 mengatur bahwa :
(1) pelaksanaan kunjungan kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 210 ayat (2) dilakukan untuk menyerap aspirasi, transparansi pelasanaan fungsi dan pertanggung jawaban kerja DPR kepada masyarakat di daerah pemilihan anggota
(2) kunjungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. kunjungan kerja ke daerah pemilihan pada masa reses; dan
b. kunjungan kerja diluar masa reses dan diluar sidang DPR.
“Dalam konteks itulah, Edyson Betaubun pada peristiwa tersebut sedang melaksanakan tugas konstitusionalnya, dan ini mempunyai implikasi hukum yang sangat serius, karena objek yang diperiksa adalah pejabat negara yang sedang melaksanakan tugas dan mandat konstitusionalnya, dan dilindungi hukum dan yang berwenang untuk memeriksa dan memutus persoalan ini adalah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI,” tegasnya.
MKD tambahnya merupakan lembaga yang paling berwenang untuk memberikan kongklusi hukum atas persoalan ini.
Dalam preseden pernah dilakukan untuk perkara yang melibatkan anggota DPR aktif yaitu Victor Laiskodat.
Apalagi tambahnya, disinyalir bukti rekaman yang ada dalam berkas perkara itu dilakukan oleh salah satu oknum Bawaslu Maluku.
“Ini berbahaya, karena tindakan merekam, menyadap serta intersep dan semacamnya dilakukan tidak sesuai hukum yang berlaku, dan bersifat melawan hukum, karena bukti rekaman dilakukan secara melawan hukum dan bisa dipidana,” tegas Bachmid.
Sebab Bawaslu tidak berwenang melakukan penyadapan pembicaraan orang secara diam diam adalah tidak sah dan tidak bernilai sebagai bukti hukum “unlawful legal evidence”dan itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.5/PUU-VIII/2010, bertanggal 02 Februari 2011,dan Putusan MK No.21/PUU-XIV/2016, bertanggal 17 Februari 2016 yang diajukan oleh Setya Novanto.
Hal ini dilakukan Novanto lantaran merasa dirugikan oleh penyadapan secara diam-diam yang dilakukan oleh Maruf Sjamsoedin, terkait perkara Papa Minta Saham.
“Intinya, penyadapan diam-diam oleh perorangan adalah ilegal, Bawaslu bukan lembaga penegak hukum,dan tidak diberi kewenangan “projusticia”untuk melakukan penyidikan guna mendapatkan kebenaran materil. Ini akan kita respons secara hukum, dengan mengambil tindakan hukum atas persoalan tersebut,” jelasnya.
Menurut Bachmid, jika benar ada anggota Bawaslu melakukan penyadapan percakapan secara diam-diam, maka konsekwensinya adalah pidana.
“Kami akan lapor yang bersangkutan,” tegasnya. (MG).